NEWS

Google Akuisisi “Startup” Mantan Karyawan untuk Permak Android Wear

KOMPAS/PRIYOMBODO Mitos terakhir ialah keadaan kendaraan jasa ojek yang buruk, plus ketidaklengkapan surat-surat. Sayangnya, keadaan yang satu ini kerap tak dapat terlihat dengan mata telanjang.
REZA GUNAWAN
Selasa, 15 November 2016 | 09:31 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Ojek sepeda motor adalah sarana transportasi yang secara sosiologis eksis dan diakui keberadaannya di tengah masyarakat. Pemerintah juga tidak pernah melarang keberadaannya, walaupun secara yuridis tidak pernah diatur dan dibenarkan dalam undang-undang.

"Jadi ojek sepeda motor adalah anomali dalam sistem transportasi di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas melalui keterangan tertulisnya pada Kompas.com, Jumat (31/7/2015).

Darmaningtyas menjelaskan mengenai sejarah munculnya ojek sepeda motor. Menurut dia, ojek sepeda motor pertama kali muncul di Jakata pada akhir dekade 1980, bersamaan dengan adanya kebijakan pemerintah yang hendak menghapus keberadaan becak di Ibu Kota.

"Semula, kebutuhan orang untuk bertransportasi dari rumah menuju ke jalan raya dicukupi oleh becak. Tapi dengan tergusurnya becak, peran becak itu digantikan oleh ojek sepeda motor. Ojek tumbuh atas inisiatif warga dan dimanfaatkan oleh warga pula," jelasnya.

Tokoh informal

Menurut pria yang biasa disapa Tyas ini, keberadaan ojek sepeda motor di tengah masyarakat semakin kuat karena dibekingi oleh tokoh warga masyarakat yang ia istilahkan sebagai "tokoh informal". Tokoh informal ini yang mengontrol ojek-ojek di setiap pangkalan.

Tyas mengatakan besaran uang untuk bergabung dan pungutan bulanan antara pangkalan ojek yang satu dengan pangkalan yang lainnya bervariasi. Hal itu ditentukan oleh tokoh informalnya itu.

"Jadi tidak sembarangan pengojek bisa mangkal. Guna memperkokoh peran tokoh informal, mereka menerapkan pembatasan jumlah pengojek yang boleh mangkal di lokasi yang dikuasai dan mengenakan biaya masuk untuk dapat bergabung, sehingga terkesan eksklusif," papar Tyas.

Tyas mengatakan besaran uang untuk bergabung dan pungutan bulanan antara pangkalan ojek yang satu dengan pangkalan yang lainnya bervariasi. Hal itu ditentukan oleh tokoh informalnya itu.

"Jadi tidak sembarangan pengojek bisa mangkal. Guna memperkokoh peran tokoh informal, mereka menerapkan pembatasan jumlah pengojek yang boleh mangkal di lokasi yang dikuasai dan mengenakan biaya masuk untuk dapat bergabung, sehingga terkesan eksklusif," papar Tyas.